Berawal dari gumpalan awan hitam yang perlahan bergerak
ke arah selatan, hatiku remuk redam. Semua bergerak begitu cepat dan sangat
cepat sebelum aku menyadarinya. Namun semua belum berakhir. Aku berdiri disini
untuk menghadapinya.
Pandanganku kosong. Aku terdiam sambil memeluk lutut
dan sesekali menggigit bibirku sendiri. Berbagai pikiran dan perasaan
bermain-main dalam diriku. Aku bingung. Aku masih terlalu bodoh untuk bijak. Tuhan, kenapa semua ini terjadi begitu
cepat? Sungguh aku belum siap. Tolong aku ya Tuhan, Tolong. Sesuatu memang
akan sangat berharga setelah dia pergi. Aku sadar bahwa hal serupa akan terjadi
padaku.
Saat itu, aku sedang berbaring tak berdaya di rumah
sakit karena typus. Dalam lemah aku merindukan seseorang yang indah di mataku.
Seseorang yang selalu mengisi cerita hidupku sejak aku masih kecil. Seseorang
yang selalu bersamaku, dan seseorang yang menjadi bagian hidupku. “Intan”
sahabatku yang sangat manis dan baik hati. Dia belum menjengukku. Sampai aku
boleh pulangpun dia masih belum datang. Apakah dia tahu bahwa di sini aku
selalu menunggunya?
Di rumah, aku mendapat kabar bahwa dia juga sedang
dirawat di rumah sakit karena terkena penyakit demam berdarah. Ingin aku
menjenguk sahabat manisku itu, namun kondisiku terlalu lemah untuk sekedar naik
kendaraan ke rumah sakit. Aku memutuskan untuk menjenguknya nanti setelah dia
pulang dari rumah sakit. Penantian yang menyakitkan. Kuharap semua ini segera
berlalu dan aku akan kembali mewarnai hidupku dengan sahabatku yang manis itu.
Pagi yang berselimut hujan. Saat aku terbangun dari
mimpi yang tidak begitu jelas, kulihat samar-samar wajah ayah di hadapanku. Beliau mengatakan
“Nak, cepat bangun. Temanmu ada yang meninggal”. “Siapa ayah?” tanyaku padanya.
Beliau menjawab ”Intan”. Saat itu juga semua kata-kataku lenyap, seluruh
tubuhku membeku, dan hatiku seperti kehilangan belahannya.
Aku langsung berlari sekencang-kencangnya menerobos
hujan menuju rumah sahabatku itu. Aku tidak tau apa yang sedang kurasakan saat
itu. Aku hanya ingin bertemu dia. Sungguh hanya ingin bertemu. Sampai disana,
aku melihat banyak orang, tapi tak kulihat jenazah Intan. Aku terus mendesak
masuk dan akhirnya kutemui dia untuk yang terakhirkalinya. Dia sudah memakai
pakaian sucinya dan siap untuk disholati. Aku tak berani mendekat. Aku takut
tangisku akan pecah di sana dan memperburuk suasana. Aku hanya mengucapkan
salam terakhir padanya. Tapi do’aku kan selalu ada untuknya. Setelah dia dibawa
pergi aku pulang dengan hati yang remuk redam. Aku merasa air mataku tak akan
bisa berhenti mengalir.
“Tuhan, kenapa harus
secepat ini???”