Rabu, 26 Maret 2014

Kau Pergi Terlalu Cepat

Berawal dari gumpalan awan hitam yang perlahan bergerak ke arah selatan, hatiku remuk redam. Semua bergerak begitu cepat dan sangat cepat sebelum aku menyadarinya. Namun semua belum berakhir. Aku berdiri disini untuk menghadapinya.
Pandanganku kosong. Aku terdiam sambil memeluk lutut dan sesekali menggigit bibirku sendiri. Berbagai pikiran dan perasaan bermain-main dalam diriku. Aku bingung. Aku masih terlalu bodoh untuk bijak. Tuhan, kenapa semua ini terjadi begitu cepat? Sungguh aku belum siap. Tolong aku ya Tuhan, Tolong. Sesuatu memang akan sangat berharga setelah dia pergi. Aku sadar bahwa hal serupa akan terjadi padaku.
Saat itu, aku sedang berbaring tak berdaya di rumah sakit karena typus. Dalam lemah aku merindukan seseorang yang indah di mataku. Seseorang yang selalu mengisi cerita hidupku sejak aku masih kecil. Seseorang yang selalu bersamaku, dan seseorang yang menjadi bagian hidupku. “Intan” sahabatku yang sangat manis dan baik hati. Dia belum menjengukku. Sampai aku boleh pulangpun dia masih belum datang. Apakah dia tahu bahwa di sini aku selalu menunggunya?
Di rumah, aku mendapat kabar bahwa dia juga sedang dirawat di rumah sakit karena terkena penyakit demam berdarah. Ingin aku menjenguk sahabat manisku itu, namun kondisiku terlalu lemah untuk sekedar naik kendaraan ke rumah sakit. Aku memutuskan untuk menjenguknya nanti setelah dia pulang dari rumah sakit. Penantian yang menyakitkan. Kuharap semua ini segera berlalu dan aku akan kembali mewarnai hidupku dengan sahabatku yang manis itu.
Pagi yang berselimut hujan. Saat aku terbangun dari mimpi yang tidak begitu jelas, kulihat samar-samar  wajah ayah di hadapanku. Beliau mengatakan “Nak, cepat bangun. Temanmu ada yang meninggal”. “Siapa ayah?” tanyaku padanya. Beliau menjawab ”Intan”. Saat itu juga semua kata-kataku lenyap, seluruh tubuhku membeku, dan hatiku seperti kehilangan belahannya.
Aku langsung berlari sekencang-kencangnya menerobos hujan menuju rumah sahabatku itu. Aku tidak tau apa yang sedang kurasakan saat itu. Aku hanya ingin bertemu dia. Sungguh hanya ingin bertemu. Sampai disana, aku melihat banyak orang, tapi tak kulihat jenazah Intan. Aku terus mendesak masuk dan akhirnya kutemui dia untuk yang terakhirkalinya. Dia sudah memakai pakaian sucinya dan siap untuk disholati. Aku tak berani mendekat. Aku takut tangisku akan pecah di sana dan memperburuk suasana. Aku hanya mengucapkan salam terakhir padanya. Tapi do’aku kan selalu ada untuknya. Setelah dia dibawa pergi aku pulang dengan hati yang remuk redam. Aku merasa air mataku tak akan bisa berhenti mengalir.
“Tuhan, kenapa harus secepat ini???”